KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah kami panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang mana dengan Taufiq
dan Hidayah serta Inayah-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah Fiqih Munakahat yang sederhana ini.
Semoga shalawat dan salam senantiasa
dilimpahkan Allah SWT., kepada Nabi Muhammad Saw, seluruh keluarganya, para
sahabat, tabi’in, dan tabi’it-tabi’in, serta para pengikut setia Beliau hingga
akhir zaman.
Makalah ini membahas tentang Wali dan Saksi dalam Pernikahan yang dirangkum dari beberapa
sumber, dengan maksud agar memudahkan Mahasiswa dalam mempelajari materi perkuliahan ini.
Semoga dengan tersusunnya makalah ini,
bisa dijadikan sebagai pelajaran dan bermanfaat untuk kita semua, amin.
Bekasi, 12 April 2014
Penyusun
Irpan Maulana
BAB I
PENDAHULUAN
Islam adalah
agama dan jalan hidup bagi semesta alam yang berdasarkan kepada firman Allah
yang termaktub dalam alqur'an dan sunnah rasulullah. Ada beberapa seperangkat
peraturan yang mengikat pada kehidupan manusia dari berbagai aspek kehidupan
manusia menjadi tetap beradab dan bernilai ibadah jika saja semua praksis itu
di orientasikan kepada Tuhan.
Salah satu
ajaran yang terpenting dalam Islam adalah pernikahan (perkawian). Begitu
pentingnya ajaran tentang pernikahan tersebut sehingga dalam Al-Qur’an terdapat
sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung berbicara mengenai
masalah pernikahan. Bila kita amati secara mendalam, maka salah satu maksud
disyariatkanya agama Islam oleh Allah swt adalah untuk memelihara keturunan.
Pernikahan disyariatkan oleh Islam karena merupakan salah satu usaha untuk
memelihara kemuliaan keturunan serta menjadi kunci kemasyarakat. Oleh sebab itu
adanya lembaga perkawinan merupakan suatu kebutuhan pokok umat manusia guna
memelihara kedamaian dan keteraturan dalam kehidupan. Dengan demikian, maka
persoalan perkawinan yang diatur sedemikian rapi oleh Islam bukanlah suatu persoalan
yang bisa di kesampingkan begitu saja, tetapi merupakan salah satu institusi
suci yang mutlak harus diikuti dan dipelihara.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Wali
Nikah
Secara
etimlogis, alwilayah (wali) ialah berasal dari ungkapan wala' asy-syaya' wa
ala' alayh iwilayatan/walayatan yang berarti "Mengusainya".
ada juga yang mengatakan wala' fulanan wilayatanwa walayatan "membantu
dan menolongnya". Sedangkan alwalayatan di tafsirkandengan
pertolongan, sedangkan al wilayat di tafsirkan kekuasaan dan kekuatan. Dari makna
demikian di sebutkanlah bahwa wali bagi seorang wanita ialah yang mempunyai
hak/kekuasaan untuk melakukan akad pernikahannya dan ia tidak membiarkannya di
ganggu oleh orang lain.
Sedangkan dalam
pengertian terminologis perwalian (wilayah) ialah kekuasaan secara syariat yang
di miliki orang yang berhak untuk melakukan tasrharuf (aktifitas) dalam
kaitan dengan keadaan/urusan orang lain utnuk membantunya dan ada pemahaman lain tentang wali perwakilan dengan
definisi suatu wewenang syar'ie atas segolongan manusia, yang di limpahkan
kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang di
kuasai tersebut, demi kemaslahatan sendiri. semua pengertian ini mengacu
kepada kodrat kemanuisaan di mana perempuan sangat membutuhkan kehadiran wali.
B.
Urutan Wali
Nikah
Ada beberapa
macam wali yang dapat bertindak sebagai wali nikah antara lain sebagai berikut;
a.. ayah
b. kakek dan
seterusnya keatas dari garis laki-laki.
c. saudara
laki-laki kandung.
d. saudara
laki-laki seayah
e. kemenakan
laki-laki kandung
f. kemenakanan
laki-laki seayah
g. paman
kandung
h.paman seayah
i. saudara
sepupu ;laki-laki kandung
j. saudara
sepupu laki-laki seayah
k. sultan/
hakim
diantara uratan
di atas, yang harus menjadi wali nikah sesuai dengan urutannya.
C.
Macam- Macam Wali Dalam Islam
1. Wali
Nasab.
Wali nasab
artinya anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai perempuan yang mempunyai
hubungan darah patrinial dengan calon mepelai perempuan. Wali nasab terbagi
menjadi dua,yaitu:
a). Wali
mujbir, yaitu wali nasab yang berhak memaksakan kehendaknya utnuk menikahkan
calon mempelai perempuan tanpa meminta izin kepada wanita yang bersangkutan hak
yang di miliki oleh mujbir di sebut dengan hak ijbar. Wali yang memiliki hak
ijbar ini menurut imam syafi'ie hanya ayah, kakek dan seterusnya keatas. Para
ulama' berpendapat bahwa wali mujbir dapat mempergunakan hak ijbar, apabila
terpenuhi yarat sebagai berikut:
·
Antara wali mujbir dengan calon mempelai tidak ada
permusuhan.
·
Laki-laki pilihan wali harus sekufu' dengan wanita yang akan
di kawinkan
·
Di antara calon mempelai tidak ada permusuhan
·
Maharnya tidak kurang dari mahar
mistsil
·
Laki-laki pilhan wali akan memenuhi
kewajiban terhadap istri dan tidak ada kekawatiran menyengsarakan.
b). Wali nasab
biasa, yaitu wali nasab yang tidak mempunyai kewenangan untuk memaksa menikah
tanpa izin/ persetujuan dari wanita yang bersangkutan. Dengan kata lain wali
ini tidak memunyai kewenangan mempergunakan hak ijbar.
2.Wali Hakim
Wali hakim
adalah wali nikah yang di tunjuk oleh mentri agams / pejabat yang di tunjuk
olehnya, yang di beri hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah,
tetapi wewengan wali nasab berpindah ketangan wali hakim apabila;
a. ada
pertentangan di antara para wali itu.
b. Bilamana
wali nasab tidak ada atau ada tetapi tidak mungkin mengadirkannya, atau tidak
di ketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal/enggan. Wali adlal adalah
wali yang enggan menikahkan wanita yang telah baligh dan berakal dengan seorang
laki-laki pilihannya.
Wanita mana
saja yang nikah tapa izin walinya pernikahaannya itu batal, pernikahannya itu
batal apabila sang suami telah melakukan hubungan seksual si wanita itu sudah
berhak untuk mendapatkan maskwin lantaran apa yang telah ia buat halal pada kemaluan
wanita itu. Apabila para wali itu enggan, maka sultanlah yang menjadi wali
orang yang tidak ada walinnya.[1]
Syari'at islam
menetapkan adanynya wali hakim ini adalah untuk menghadirkan kesukaran
pelaksanaan suatu pernikahan, sedangkan pernikahan itu meurpakan kebutuhan dan
pelaksanaan pernikahan itu adalah wajar karena wanita itu ingin di nikahkan
kepada seoarang laki-laki yang sepadan dan sanggup membayar mahar mitsil,
sedangkan wali nasab tidak ada, atau tidak mau menikahkannya , apabila kedua
calon mempelai tidak mau menunda pernikahannya sampai ada wali nasab, maka
hakimlah yang bertindak sebagai wali nikah, sebab ada hadits yang isinya tidak
dapat menunda masalah nikah ini manakala sudah wajar.
D.
Syarat-Syarat Wali
Wali dan saksi
bertanggung jawab atas sahnya akad perkawinan oleh karena itu tidak semua orang
dapat di terima menjadi wali atau saksi, tetapi hendaklah orang orang yang
memiliki berbagai sifat berikut;
1. islam
2. baligh
3. berakal
4. laki-laki
5. adil
6. laki-laki, persyaratan yang terakhir
ini sesuai dengan sabda nabi:
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ
الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا وَالزَّانِيَةُ الَّتِى تُنْكِحُ نَفْسَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ
وَلِيِّهَا
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
“Wanita
tidak bisa menjadi wali wanita. Dan tidak bisa pula wanita menikahkan dirinya
sendiri. Wanita pezina-lah yang menikahkan dirinya sendiri.”
(HR. Ad Daruquthni, 3: 227. Dishohihkan oleh Al-Albani
dalam Shohihul Jami’ 7298)
E.
Kedudukan Wali
Madzhab
malikiyah, syafi'iyah, hambaliyah, serta mayoritas fuqaha elah sepakat
pentingnya keberadaan wali dalam akad pernikahan. Setiap
pernikahan tanpa menghadirkan wali maka pernikahan tersebut menjadi batal-tidak
sah. Jadi, seorang perempuan tidak mempunyai hak untuk melangsungkan akad
pernikahan dengan sendirinya secara langsung dalam kondisi bagaimanapun. Hal
ini para ulama mendasarkan pendapatnya pada hadits nabi saw, yang diriwayatkan
oleh ibnu hibban.
لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل
Artinya:
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan
dua orang saksi”. (HR. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya. Ibnu Hibban
berkata bahwasanya tidak shahih penyebutan dua orang saksi kecuali dalam hadits
ini).[2]
Imam Asy Syafi’i rahimahullah
berkata, “Walaupun hadits ini munqothi’ (terputus) hanya sampai di bawah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun kebanyakan para ulama mengamalkan
hadits tersebut. Mereka berkata bahwa inilah bedanya antara nikah dan sesuatu
yang hanya main-main yaitu dengan adanya saksi.” At Tirmidzi berkata, “Hadits
ini diamalkan oleh para ulama dari sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
para tabi’in sesudahnya dan selain mereka. Mereka berpendapat bahwa tidak ada
nikah kecuali dengan adanya saksi. Tidak ada ulama terdahulu yang berselisih
pendapat mengenai hal ini kecuali sebagian ulama belakangan yang berbeda.”[3]
Syaikh Abu Malik berkata bahwa
hadits yang membicarakan hal ini saling menguatkan satu dan lainnya. Jika
dikatakan “tidak ada nikah”, maka itu menunjukkan bahwa adanya saksi merupakan
syarat sahnya nikah.[4]
Syaikh Musthofa Al Bugho berkata,
“Persaksian merupakan rukun di antara rukun akad nikah, berbeda dengan akad
lainnya karena begitu agungnya dan konsekuensi besar yang ditimbulkan dari akad
tersebut. Rukun ini mesti ada demi kehati-hatian dan menghindari pengingkaran.
Konsekuensinya pun bisa berakibat pada pelalaian hak-hak dan nasab.”[5]
Menurut
pendapat ulama', maksud hadits di atas, kata "la nikaha illa bi
waliyyi" adalah penafsiran diarahkan, baik kepada zat syariah
(substansi syariat) sebab zat yang ada, yakni gambaran akad tanpa wali
bukan merupakan syariat. Atau, penafian tersrbut diarahkan atau dimaksudkan
kepada sah, yang hal itu merupakan salah satu diantara dua kiasan yang paling
dekat kepada zat-yang dinafikan, sehingga nikah tanpa wali menjadi tidak sah
(batil).
Sementara
madzhab Hanafiyah mengatakan bahw awanita yang telah baligh dan berakal sehat
boleh memilih sendiri calon mempelai pria dan boleh melakuka akad dengan
sendiri, ia mendasarkan pendapatnya pada firman Allah SWT:
£Ÿxsù £`èdqè=àÒ÷ès? br& z`ósÅ3Ztƒ £`ßgy_ºurø—r&
Artinya:
“Maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya….”
Menurut madzhab
Hanafiyah maksud kata nikah disandarkan kepada mereka dalam kata "an
yankihna", - adalah berarti sah pernikahan mereka tanpa wali.[6]
Dalam pandangan
penulis, pendekatan yang dipakai oleh Hanafi yang berbeda ini dipengaruhi oleh
letak geografis dan latar belakang budaya sosial yang berkembang di masyarakat
pada waktu itu. Sehingga penafsirannya cenderung lebih elastis dan terbuka.
Hanafi adalah seorang ulama yang tinggal di wilayah perkotaan metropolitan,
dimana tingkat dan kapasitas keilmuan seseorang tidak membedakan jenis kelamin.
Sehingga wanita pun memiliki hak otoritas untuk menentukan suatu hukum (dalam
hal ini masalah nikah).
F.
Saksi Nikah
a. Pengertian dan Jumlah Saksi Nikah
Saksi adalah orang yang hadir secara langsung
menyaksikan pelaksanaan pernikahan (Ijab Qabul), agar pleksanaannya sesuai
dangan syri’at agama.
Saksi dalam pernikahan disyaratkan 2 orang sedangkan mengenai laki – laki atau
perempuan yang menjadi saksi, para ulama memberikan 2 pendapat, sebagian
berpendapat bahwa saksi harus laki – laki, sebagian yang lain berpendapat bahwa
jika saksi perempuan tetap sah saja.
G.
Syarat-syarat Saksi Nikah
Dalam masalah ini, saksi pada suatu pernikahan diharuskan memenuhi persyaratan
berikut :
1. Beragama Islam
2. Baligh / dewasa
3. Adil
4. Mardeka
5. Mendengar dan memahami perkataan
dua orang yang melakukan akad
6. Laki laki
H.
Kedudukan Saksi
Seperti
halnya wali, pernikahan tidak akan sah apabila tidak dihadirkan 2 orang saksi
sekalipun diumumkan dengan cara lain setelah ijab qabul. Hal ini ditegaskan kembali
oleh Hadits Rasulullah saw:
لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل
Artinya:
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan
dua orang saksi”. (HR. Ibnu Hibban)
BAB
III
KESIMPULAN
Kehadiran
wali dan saksi pada saat akad nikah amat penting artinya, karena menyangkut
kepentingan kerukunan berumah tangga, terutama menyangkut kepentingan istri dan
anak, sehingga tidak ada kemungkinan suami mengingkari anaknya yang lahir dari
istrinya itu.
Kehadiran
wali dan saksi dalam akad nikah, adalah
sebagai penentu sah akad nikah itu seperti sabda Rasulullah “Tidak ada nikah
kecuali dengan wali dan dua orang saksi”.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Prof. Dr. HJ. Huzaenah tahido
yanggo, MA, Fiqih Anak Metode Islam Dalam Mengasuh Dan Mendidik Anak Serta Hukum- Hukum
Yang Berkaitan Dengan Aktifitas Anak, Jakarta Sel: PT
Almawardi Prima, 2004.
Ø Muhammad Jawad
Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lemtera Hati, cet
IV,.2000.
Ø http:// tafany.
Wordpress.com/2007//12/17/r.
Ø Drs. H Djumaan Nur, ibid.
Ø H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam,
Jakarta: IKAPI, cet.40, 2007.
Ø Ibnu Hajar Atsqalani, terjemah
hadits bulughul maram, dialih bahasakan oleh Prof. Drs. KH. Masdar
Helmi, Bandung: CV. Gema Risalah Press.
Ø http://kholid-kholidmakmun.blogspot.com/2011/05/kedudukan-wali-dan-saksi-dalam.html
[6] Ibnu
Hajar Atsqalani, terjemah hadits bulughul
maram, dialih bahasakan oleh Prof. Drs. KH. Masdar Helmi, Bandung: CV.
Gema Risalah Press. 1994, hal: 332.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar