KATA PENGANTAR
Puji
syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Manajemen
Pondok Pesantren Tradisional”. Makalah ini di susun dalam rangka memenuhi tugas
kelompok mata kuliah Manajemen Berbasis Sekolah.
Penyusun
menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna
sempurnanya makalah ini. Penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Dalam
penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang penyusun hadapi. Namun,
penyusun menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini mendapat
bimbingan dari Dosen mata kuliah Manajemen Berbasis Sekolah, serta rekan satu
kelompok yang telah berkerja sama.
Akhir
kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Bekasi,30 Juni 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
Dalam
prinsip ajaran Islam, segala sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan
melainkan harus dilakukan secara rapi, benar, tertib, dan teratur dan
proses-prosesnya juga harus diikuti dengan tertib.
Dalam
sebuah riwayat Rasulullah saw bersabda : yang artinya : “Sesungguhnya Allah sangat mencintati orang yang jika melakukan sesuatu
pekerjaan, dilakukan secara Itqan (tepat, terarah, jelas dan tuntas)”. (HR
Thabrani)
Sebenarnya,
manajemen dalam arti mengatur segala sesuatu agar dilakukan dengan baik, tepat dan tuntas merupakan hal yang disyariatkan dalam ajaran Islam,
sebab dalam islam arah gayah (tujuan)
yang jelas, landasan yang kokoh, dan kaifiyah
yang benar merupakan amal perbuatan yang dicintai Allah swt.
Setiap
organisasi, termasuk pendidikan pondok pesantren memiliki aktivitas-aktivitas
pekerjaan tertentu dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Salah satu
aktivitas tersebut adalah manajemen. Dengan pengetahuan manajemen, pengelola
pondok pesantren bisa mengangkat dan menerapkan prinsip-prinsip dasar serta
ilmu yang ada di dalam Al-Qur’an dan Hadis ke dalam lembaganya tersebut.
Pondok pesantren
merupakan pendidikan tertua dan sampai saat ini memiliki kepercayaan yang
tinggi dari masyarakat sekitar. Oleh karena itu, pesantren harus mulai
membangun dirinya secara “kualitas”, seperti halnya pada pola manajemen pondok
pesantren tradisional yang perlu sentuhan dalam mengelolanya, supaya dalam
proses pembelajaran bisa progres. Dengan adanya kemajuan dalam manajemen
diharapkan pondok pesantren mampu menghasilkan output yang siap menghadapi tantangan zaman, namun dalam hal ini
tak sedikit pondok pesantren yang masih menggunakan pola manjemen pondok
pesantren tradisional.
Dalam struktur
pendidikan nasional, pesantren merupakan mata rantai yang sangat penting. Hal
ini tidak hanya karena sejarah kemunculannya yang relatif lama, tetapi juga
karena pesantren telah secara signifikan ikut andil dalam upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa. Dalam sejarahnya, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang
berbasis masyarakat (society based-education). Dalam kenyataannya,
pesantren telah mengakar dan tumbuh dari masyarakat, kemudian dikembangkan oleh
masyarakat.
Pesantren merupakan kenyataan
sosial yang sudah mapan dalam masyarakat Indonesia, namun tidak memperoleh
perhatian dan intervensi yang signifikan dari pemerintah untuk mengembangkan
ataupun memberdayakannya. Hal ini menjadikan pesantren tumbuh dengan kemampuan
sendiri, yang pada akhirnya menumbuhkan varian yang sangat besar, karena sangat
tergantung pada kemampuan masyarakat itu sendiri. Kesan yang muncul adalah
bahwa pesantren merupakan lembaga yang eksklusif dan kurang mengakomodasi
perkembangan zaman dalam hal sistem pembelajaran serta manajemen
pengelolaannya.
Dalam manajemen
pesantren dan sistem pembelajarannya mempunyai karakteristik tersendiri,
terutama tidak menganut ketentuan – ketentuan formal dan prosedur yang ketat.
Dalam pembelajaran pesantren tradisional tidak dijumpai komponen – komponen pembelajaran
formal, seperti daftar santri pengajian, daftar pelajaran, desain pembelajaran,
media pembelajaran, dan tidak ada pula evaluasi hasil belajar. Mata pelajaran
yang diajarkan hanyalah ilmu – ilmu keagamaan, terutama dari kitab – kitab abad
pertengahan yang dikenal dengan kitab – kitab kuning (al-kutub al-qadimah). Metode pendekatan yang berkisar pada sorogan,
bandongan, cocogan, setoran, muthalaah dan musyawarah.
Jika ditinjau dari
sistem pendidikan yang diterapkan di pondok pesantren, pendekatan yang sering
dipergunakannya adalah pendekatan holistik, hal itu dibuktikan paling tidak
dengan prinsip – prinsip yang tercermin dari sistem pendidikannya. Sistem
pendidikan pesantren, mendasarkan filsafat pendidikannya pada filsafat theocentric,
yang memandang bahwa semua aktivitas pendidikan dipandang sebagai ibadah kepada
Allah Swt. dan merupakan bagian integral dari totalitas kehidupan muslim,
sehingga belajar dan mengajar di pesantren tidak dipandang sebagai alat tetapi
dipandang sebagai tujuan.
Implikasi dari prinsip
tersebut, maka para pengajar di Pondok Pesantren memandang bahwa kegiatan di
pesantren sebagai ibadah kepada Allah Swt., sukarela dan dijadikan sebagai
media pengabdian kepada sesama manusia dalam rangka mengabdi kepada Allah Swt.
Hal itu juga tercermin dari kearifan dan kesederhanaan hidupnya sehari-hari
yang menyiratkan semacam kesadaran transcendental. Kesederhanaan di sini adalah
identik dengan kemampuan bersikap dan berpikir wajar, proporsional, dan tidak tinggi
hati.
Berdasarkan pembahasan
diatas, maka dapat diketahui fokus masalah dalam makalah difokuskan pada ‘Manajemen di Pondok Pesantren Tradisional’.
2.1. Manajemen
Kata manajemen berasal dari bahasa Prancis kuno ménagement,
yang artinya seni melaksanakan dan mengatur[1].
Menurut Mary
Parker Follet, manajemen sebagai seni menyelesaikan pekerjaan
melalui orang lain. Definisi ini berarti bahwa seorang manajer bertugas
mengatur dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi. Menurut Ricky W. Griffin : sebuah
proses perencanaan, pengorganisasian,
pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran (goals)
secara efektif dan efesien. Efektif berarti
bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara efisien berarti
bahwa tugas yang ada dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai dengan
jadwal.
Manajemen adalah
pengelolaan suatu pekerjaan untuk memperoleh hasil dalam rangka pencapaian
tujuan yang telah ditentukan dengan cara menggerakan orang-orang lain untuk
bekerja[2]. Istilah
manajemen mengandung tiga pengertian yaitu :
1.
Manajemen sebagai suatu proses.
2.
Manajemen sebagai kolektivitas
orang-orang yang melakukan aktivitas manajemen.
3.
Manajemen sebagai suatu seni (Art) dan sebagai suatu ilmu pengetahuan
(Science).
2.2. Pondok Pesantren
Menurut asal katanya pesantren berasal dari kata
”santri” yang mendapat imbuhan awalan ”pe” dan akhiran ”an” yang menunjukkan
tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang pula pesantren
dianggap sebagai gabungan dari kata ”santri” (manusia baik) dengan suku kata
”tra” (suka menolong) sehingga kata pesantren dapat diartikan tempat pendidikan
manusia baik-baik[3]
(Zarkasy, 1998: 106).
Pesantren juga dikenal dengan tambahan istilah
pondok yang dalam arti kata bahasa Indonesia mempunyai arti kamar, gubug, rumah
kecil dengan menekankan kesederhanaan bangunan atau pondok juga berasal dari
bahasa Arab ”Fundũq” yang berarti
ruang tidur, wisma, hotel sederhana, atau mengandung arti tempat tinggal yang
terbuat dari bambu.
Pesantren atau lebih dikenal dengan istilah pondok
pesantren dapat diartikan sebagai tempat atau komplek para santri untuk belajar
atau mengaji ilmu pengetahuan agama kepada kiai atau guru ngaji, biasanya
komplek itu berbentuk asrama atau kamar-kamar kecil dengan bangunan apa adanya
yang menunjukkan kesederhanaannya.
Menurut Mastuhu (1994: 55) pondok pesantren adalah
suatu lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami,
mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan
pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Dari berbagai
pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa pesantren adalah lembaga
pendidikan Islam tradisional yang mempelajari ilmu agama (tafaqquh fi al-dîn) dengan penekanan pada pembentukan moral santri
agar bisa mengamalkannya dengan bimbingan kiai dan menjadikan kitab kuning
sebagai sumber primer serta masjid sebagai pusat kegiatan.
2.3. Tradisonal
Tradisi (Bahasa Latin:
traditio, “diteruskan”) atau
kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah
dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok
masyarakat, biasanya pada satu negara, kebudayaan, waktu tertentu atau penganut
agama. Tradisi merupakan akar dari kebudayaan yang bisa menjadi sebuah kondisi
yang aman dan nyaman bagi masyarakatnya untuk melakukan berbagai kegiatan dalam
kehidupan sehari – hari.
Tradisional adalah sikap dan cara berpikir serta
bertindak yg selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yg ada secara
turun-temurun[4].
Tradisional dalam hubungannya dengan kehidupan manusia dapat diartikan sebagai
sesuatu yang mengarah pada kebiasaan masyarakat dalam melakukan aktivitas
kehidupan.
Dengan demikian, sifat – sifat tradisi sangat
berpengaruh terhadap kehidupan manusia yang tinggal di dalamnya, meskipun
peradaban dan berbagai kondisi kehidupan telah berubah secara signifikan, namun
hal tersebut tidak akan dengan cepat mengubah kebiasaan atau tradisi asalnya[5].
Manajemen pondok pesantren tradisional adalah suatu
proses dan perencanaan dalam sebuah lembaga pendidikan tradisional Islam yang
masih bersifat turun-menurun yang berpegang teguh pada adat kebiasaan dan
norma, untuk memperoleh hasil dari pencapaian tujuan sesuai dengan Al-Quran dan
Hadis.
3.1. Karakteristik Pendidikan Islam Tradisional
Secara etimologis, kata “tradisional” berasal dari kata dasar tradisi yang
berarti tatanan, budaya atau adat yang hidup dalam sebuah komunitas masyarakat.
Karenanya, tradisional diartikan konsensus bersama untuk ditaati serta
dijunjung tinggi oleh sebuah komunitas masyarakat setempat.
Bila dikaitkan dengan sistem pendidikan dalam Islam, pandangan kita selalu
tertuju pada pesantren. Pesantren sebagai sistem pendidikan di Indonesia
yang menganut sistem tradisional. Ulil Abshar Abdallah dalam artikelnya,
menyatakan bahwa pesantren satu-satunya lembaga pendidikan Islam di Indonesia
yang mewarisi tradisi intelektual Islam tradisional. Identifikasi ini
mengukuhkan pesantren dengan segala infrastrukturnya merupakan lembaga
pendidikan di Indonesia yang masih menjunjung tinggi tradisi dan budaya otentik
bangsa.
Mastuhu
menuliskan, sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional, pesantren
mempunyai empat ciri khusus yang menonjol. Mulai dari hanya memberikan
pelajaran agama versi kitab-kitab Islam klasik berbahasa Arab, mempunyai
tekhnik pengajaran yang unik yang biasa dikenal dengan metode sorogan
dan bandongan atau wetonan, mengedepankan hafalan, serta
menggunakan sistem halaqah.
Metode
halaqah merupakan kelompok kelas dari sistem bandongan. Halaqah berarti
lingkaran murid, atau sekelompok santri yang belajar di bawah bimbingan seorang
ustadz dalam satu tempat. Dalam prakteknya, halaqah dikategorikan
sebagai diskusi untuk memahami isi kitab, bukan mempertanyakan kemungkinan
benar salahnya apa apa yang diajarkan oleh kitab. Halaqah dinilai
hanya cocok bagi pengembangan intelektual kelas santri yang cerdas, rajin,
serta bersedia mengorbankan waktu yang besar untuk belajar.
Halaqah berhasil sebagai metode penyajian bahan pelajaran
yang mampu menanamkan dan mengembangkan kreativitas, sikap kritis, logis,
dan analitis secara sekaligus, disamping juga mampu memotivasi seluruh peserta
untuk terus belajar dan berkompetisi dalam mengembangkan wawasan keilmuan secara
mandiri. Hal ini mengingat metodologi halaqah menempatkan kiai atau
hanya sebagai “moderator”[6]. Selain halaqah, dalam dunia pesantren dikenal
beberapa metedologi pengajaran sebagai berikut:
1.
Hafalan (Tahfizh).
Sebagai sebuah metedologi pengajaran, hafalan pada
umumnya diterapkan pada mata pelajaran yang bersifat nadham (syair),
bukan natsar (prosa), dan itupun pada umumnya terbatas pada ilmu kaidah
bahaga arab, seperi Nadhm AL-‘Imrithi, Afiyyah ibn Malik, Nadhm
Al-Maqsud, Nadhm Jawabir Al-Maknun, dan lain sebagainya.
Oleh karena mengharuskan santri untuk menghafal,
metode ini sangat relevan apabila diterapkan kepada santri yang masih tergolong
anak-anak, tingkat dasar, dan tingkat menengah. Sedangkan pada usia diatas itu,
metode hafalan sebaiknya dikurangi sedikit demi sedikit, dan lebih tepat
digunakan untuk rumus dan kaidah-kaidah. Hal ini disebabkan pada usia
tersebut,tingkat kemampuan menghafal santri cenderung semakin lemah seiring
dengan menguatnya daya nalar dan pemahannya.
Dalam aplikasinya, metode ini biasanya diterapkan
dengan dua cara. Pertama, pada setiap kali tatap muka, setiap santri
diharuskan membaca tugas-tugas hafalannya dihadapan kyai atau ustadz. Jika ia
hafal dengan baik, ia diperbolehkan untuk melanjuti tugas hafalan berikutnya.
Sebaliknya jika ia belum berhasil, ia di haruskan mengulang lagi sampai lancar
untuk disetorkan kembali pada pertemuan yang akan datang. Kedua, seorang
kyai atau ustadz menugaskan santrinya untuk mengucapkan bagian-bagian tertentu
dari hafalan yang telah ditugaskan kepada mereka, atau melanjutkan
kalimat atau lafadz yang telah diucapkan oleh gurunya.
2.
Hiwar
atau Muhawarah
Hiwar dalam dunia pesantren selain sebagai alat
komunikasi, hiwar juga merupakan metode yang hampir sama dengan metode
diskusi yang umum kita kenal. Sebagi sebuah metode, hiwar merupakan
aspek dari proses belajar dan mengajar di pesantren yang telah menjadi tradisi,
khususnya bagi santri-santri yang mengikuti sistem klasikal. Oleh karenanya,
kegiatan ini merupakan suatu keharusan. Bagi mereka yang tidak mengikuti atau
mengindahkan peraturan kegiatan hiwar atau musyawarah, akan
dikenai sangsi, karena musyawarah sudah menjadi ketetapan pesantren
yang harus di taati untuk dilaksanakan.
Dalam pelaksanaannya,
para santri melakukan kegiatan belajar secara kelompok untuk membahas bersama
materi kitab, yang telah diajarkan oleh kyai atau ustadz. Dalam belajar
kelompok ini, mereka tidak hanya membahas segala sesuatu yang berkenaan dengan
topik/sub topik bahasan kitab belaka. Lebih dari itu, tidak jarang mereka
juga memperluas cakupan diskusinya, hingga mencakup pembahasan tentang
lafadz demi lafadz dan kalimat demi kalimat jika ditinjau dari gramatika bahasa
Arab (ilmu alat). Semua merupakan bagian integral dari usaha mereka untuk bisa
memahami makna hingga dapat menyimpulkannya. Sejalan dengan itu, metode
ini dinilai sangat efektif dan relatif cukup berhasil sehingga sampai saat ini.
3.
Metode Bahtsul
Masa’il (Mudzakaroh)
Mudzakaroh atau bahtsul Masa’i merupakan pertemuan
ilmiah untuk membahas masalah diniyah, seperti ibadah, akidah, dan
permasalahan-permasalahna agama lainnya. Metode ini sesungguhnya tidak jauh
berbeda dengan metode musyawarah. Bedanya, sebagai sebuah metodologi mudzakarah
pada umumnya hanya diikuti oleh para kyai atau para santri tingkat tinggi.
Dalam kaitan ini Mudzakarah (diskusi) terbagi dua, yaitu:
a.
Mudzakarah yang diadakan antar sesama kyai atau ustadz. Pada
tipe ini, biasanya disediakan kitab kitab besar yang merupakan rujukan utama
serta dilengkapi dengan dalil-dalil dengan metode Istimbath (pengambilan
hukum) yang lengkap. Metode ini pada umumnya bertujuan untuk memecahkan
permasalahan agama dan kemasyarakatan yang timbul, disamping juga untuk
memperdalam pengetahuan agama.
b.
Mudzakarah, yang diadakan antar sesama santri. Bertujuan
untuk melatih para santri dalam memecahkan masalah dengan menggunakan
rujukan-rujukan yang jelas, serta melatih santri tentang cara berarguemntasi
dengan menggunakan nalar. Biasanya dipimpin oleh ustadz atau santri yang
ditunjuk oleh kyai.
4.
Fathul
Kutub
Fathul Kutub merupakan kegiatan latihan membaca kitab (terutama
kitab klasik) yang umumnya ditugaskan kepada santri senior di pondok pesantren.
Sebagai sebuah metode Fathul Kutub bertujuan menguji kemampuan mereka
dalam membaca kitab kuning, khususnya setelah mereka berhasil mengerjakan mata
pelajaran kaidah bahasa Arab. Metode ini biasanya dikhususkan bagi santri yang
sudah akan menyelesaikan pendidikannya di sebuah Pondok Peantren.
5.
Muqoronah
Muqoronah adalah sebuah metode yang berfokus pada kegiatan
perbandingan, baik perbandingan materi, paham, metode, maupun perbandingan
kitab. Metode ini hanya diterapkan pada kelas-kelas santri senior (Mahad
‘ali) saja.
6.
Muharawah
atau Muhadatsah
Muhawarah merupakan latihan bercakap-cakap dengan menggunakan
Bahasa Arab. Metode ini digunakan untuk berbicara baik dengan sesama santri
maupun dengan para ustaz atau kyai.
Berbeda
dengan metode pendidikan di atas, Zamakhsyari Dhofier lebih meliha kekhasan
pola umum pendidikan Islam tradisional dari sisi tujuan pendidikannya. Dalam
tradisi pesantren, Zamakhsyari menjelaskan bahwa ssalah satu keunikan dari pola
pendidikan yang dilaksanakan di pesantren adalah tujuan pendidikannya yang
tidak semata-mata berorientasi memperkaya pikiran santri dengan
penjelasan-penjelasan, tetapi juga menitik beratkan pada peningkatan moral,
melatih da mempertinggi semangat menghargai nilai-nilai spritual dan
humanistik, mengajarkan kejujuran serta mengajarakan hidup sederhana. Dalam hal
ini tujuan pendidikan pesantren bukan untuk duniawi tetapi untuk ibadah kepada
Allah Swt[7]. Secara
lebih rinci Abdurahman Wahid menjelaskan, pola umum pendidikan tradisional
meliputi dua aspek utama kehidupan di Pesantren[8].
Pertama pendidikan dan pengajaran berlangsung dalam sebuah
struktur, metode dan bahkan literatur yang bersifat tradisional, baik dalam
bentuk pendidikan non formal seperti halaqah maupun pendidikan formal
seperti madrasah dengan ragam dan tingkatannya. Adapun ciri utama dari
pendidikan dan pengajaran tradisional adalah ditekankan pada pengajaran lebih
bersifat kepada pemahaman tekstual (letterlijk atau harfiyah), pendekatan
yang digunakan lebih berorientasi pada penyelesian pembacaan terhadap sebuah
kitab atau buku untuk kemudian beralih kepada kitab berikutnya, dan
kurikulumnya tidak bersifat klasikal.
Kedua,
pola umum pendidikan Islam
tradisional selalu memelihara sub-kultur pesantren yang terdiri di atas
landasan ukhrawi yang terimplementasikan dalam bentuk ketundukan mutlak
kepada ulama, mengutamakan ibadah, memuliakan ustaz atau kyai demi memperoleh
pengetahuan agama yang hakiki.
3.2. Elemen-elemen Pesantren
Hampir
dapat dipastikan, lahirnya suatu pesantren berawal dari beberapa elemen dasar
yang selalu ada di dalamnya. Ada lima elemen dasar pesantren, antara satu
dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Kelima elemen tersebut meliputi;
kyai, santri, podok, mesjid dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau yang
sering disebut dengan kitab kuning[9].
Mastuhu
mengklasifikasikan perangkat-perangkat pesantren meliputi aktor atau pelaku
seperti kyai dan santri. Perangkat keras pesantren meliputi mesjid, asrama,
pondok, rumah kyai dan sebagainya. Sementara perangkat lunaknya adalah tujuan
kurikulum, metode pengajaran, evaluasi, dan alat-alat penunjang pendidikan
lainnya[10].
Namun demikian elemen-elemen pesantren tergantung pada besar kecilnya, program
pendidikan yang dijalankan pesantren. Untuk pesantren yang berskala kecil dan
hanya sekedar mengelola pondok pesantren saja, maka hanya kelima elemen dasar
tersebut yang menjadi elemen pesantren. Dan kelima elemen inilah yang menjadi
objek manajemen.
3.3. Struktur Organisasi dan pola Manajemen Pesantren Tradisional
Setiap
pesantren memiliki struktur organisasi sendiri-sendiri yang berbeda-beda satu
terhadap yang lain, sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Meskipun
demikian, daripadanya dapat di simpulkan adanya kesamaan-kesamaan yang menjadi
ciri-ciri umum struktur organisasi pesantren, dan tampak adanya kecenderungan
perubahan yang sama di dalam menatap masa depannya, sebagai berikut :
a.
Pada dasarnya
struktur organisasi pesantren dapat digolongkan menjadi dua sayap sesuai dengan
pembagian jenis nilai yang mendasarinya, yaitu nilai agama dengan kebenaran
absolut dan nilai agama dengan kebenaran relatif.
b.
Sesuai dengan
hierarkis pembagian jenis nilai, maka sayap 1 mempunyai supremasi terhadap
sayap 2, dan oleh karena itu sayap 2 tidak boleh bertentangan dengan sayap 1,
apalagi kalau sampai melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar akidah-syariah
agama dan sunnah pondok.
c.
Sayap satu
dijaga oleh kyai utama dan dibantu oleh kiai-kiai dan ustaz yang telah dinilai
kemampuan ilmu agamanya oleh kyai utama. Para pembantu kyai utama ini
adalah juga santri-santri dari kyai utama. Sayap 2 dijaga oleh kyai-kyai muda,
ustaz dan santri.
d.
Kyai utama
merupakan pimpinan spritual dan tokoh kunci pesantren. Kedudukan, kewenangan,
dan kekuasaannya amat kuat. Hubungan antarsantri, dan antara santri dan
pimpinan (kiai, ustaz, dan pengurus) bersifat kekeluargaan dan penuh hormat.
e.
Pembagian kerja
antar unit-unit kerja sering kali kurang tajam dan banyak terdapat kesamaan.
Misalnya antara unit yang mengurusi pendidikan dan pengajaran dengan unit
yang mengurusi pengajian, kehumasan, kemasyarakatan, kesejahteraan santri, dan
sebagainya sering kali mempunyai tugas yang sama.
f.
Gaya kerja dalam
struktur organisasi pesantren pada umumnya masih merupakan garis lurus ke atas,
artinya setiap unit kerja bergantung pada atasan langsung.
Dalam
struktur organisasi pesantren tradisional, peran kyai sangat menonjol.
Pembahasan tentang peranan kyai dalam kepemimpinan masyarakat tradisional tidak
bisa dilepaskan dari pembicaraan gaya kepemimpinan kyai dalam pesantren. Gaya
kepemimpinan sorang kyai merupakan salah satu ciri khas atau bahkan menjadi
bagian, meminjam istilah Gus Dur, subculture sebuah masyarakat
tradisional (pesantren). Berbeda dengan gaya kepemimpinan lainnya, kyai
pesantren sering kali menempati atau bahkan ditempatkan sebagai pemimpin
tunggal yang mempunyai kelebihan (maziyah) yang tidak dimiliki oleh
masyarakat pada umumnya[11].
Berawal
dari kesabaran, kegigihan, dan kemandirian sang kyai untuk mengimplemasikan
cita-cita luhurnya dalam bentuk pendirian pondok pesantren, segala sesuatunya
berjalan layaknya air yang mengikuti laju arusnya. Implikasinya, kesenjangan
kualitas antara seorang pemimpin dengan lainnya tidak bisa dihindarkan.
Ironisnya, bukannya kenaikan, grafik kesenjangan kualitas tersebut pada umumnya
menunjukkan kemunduran dan penurunan pada tingkat penerusnya. Meski demikian,
kemutlakan dan kepemimpinan tunggal dalam sebuah masyarakat tradisional
terus berlangsung. Sifat mutlak inilah yang kemudian dikenal sebagai kharismatik.
Kharismatik,
demikian simpulan dari hasil penelitian yang dilakukan Mastuhu berkenaan dengan
gaya kepemimpinan kyai di enam lembaga pesantren yang dinilainya
mempunyai tipe kepemimpinan yang khas. Meski dengan kadar yang
berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan paradigma penyelenggara pendidikannya,
kepemimpinan kharismatik tetap menjadi gaya yang paling dominan dianut para
pengasuh pesantren. Sementara itu, rasionalistik sebagai antonim dari
kharismatik hanya memperoleh porsi yang sedikit untuk dijadikan sebagai
gaya kepemimpinan[12].
3.4. Pola Manajemen Pondok Pesantren Tradisonal
Dari
gaya kepemimpinan kharismatik ini, Mastuhu kemudian menemukan dua pola hubungan
yang unik antara kyai dan santri. Sebagaimana gaya kepemimpinan
sang kyai, dua pola hubungan ini juga terdapat disebuah obyek penelitiaanya.
Dua pola hubungan tersebut adalah sebagai berikut[13]:
Pertama, pola hubungan otoriter-paternalistik. Yaitu
pola hubungan antara pimpinan dan bawahan atau, meminjam istilah James C.
Scott, patron-client relationship; dan tentunya sang kyailah yang
menjadi pimpinannya. Sebagai bawahan, sudah barang tentu peran partisipatif
santri dan masyarakat tradisional pada umumnya, sangat kecil, untuk mengatakan
tidak ada; dan hal ini tidak bisa dipisahkan dari kadar kekharismatikan
sang kyai. Seiring dengan itu, pola hubungna ini kemudian diperhadapkan denga
pola hubungan diplomatik-partisipatif. Artinya, semakin kuat pola hubungan yang
satu semakin lemah yang lainnya.
Kedua, pola hubungan laissez faire. Yaitu pola
hubungan kyai santri yang tidak didasarkan pada tatanan organisasi
yang jelas. Semuanya didasarkan pada konsep ikhlas, barakah, dan ibadah
sehingga pembagian kerja antar unit tidak dipisahkan secara tajam.
Seiring dengan itu, selama memperoleh restu sang kyai, sebuah pekerjaan bisa
dilaksanakan. Pola hubungan ini kemudian diperhadapkan dengan pola hubungan
birokratik. Yaitu pola hubungan di mana pembagian kerja dan fungsi dalam
lembaga pendidikan pesantren sudah diatur dalam sebuah struktur
organisasi yang jelas.
Dari
sini dapat dipahami bahwa kharisma yang dimiliki seorang kyai inilah yang
kemudian menyebabkan mereka mempunyai peran kepemimpinan dalam lingkungannya.
Bahkan, dengan kekharismaan yang demikian besar, kyai tidak hanya berperan
sebagai pengasuh atau tokoh spritual dalam masyarakat. Lebih dari itu, mereka
juga berperan atau diperankan sebagai pimpinan masyarakat, bapak, dan
pelindung.
Sebagai
sebuah gaya kepemimpinan, sudah barang tentu terdapat kelebihan dan
kekurangannya. Gaya kepemimpinan kharismatik memang diperlukan pada tahap
awal perkembangan pesantren. Diungkap Sukamto, kepemimpinan kharismatik
paternalistik cenderung menunjukkan bobot rasa tanggung jawab kyai yang cukup
besar perhatian secara pribadi terhadap para pengikutnya. Dengan demikian, kyai
dapat memberikan pelindung sebaik-baiknya demi terjaganya persatuan dan
kesatuan kelompok masyarakat yang dipimpinnya.
Kelemahan
justru muncul pada saat gaya kepemimpinan ini terus diadopsi secara
berkelanjutan. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah tidak adanya kepastian
tentang perkembangan pesantren disebabkan segala sesuatunya bergantung pada
keputusan pimpinan, adanya keraguan dan bahkan ketidakberanian tenaga-tenaga
kreatif yang ikut membantu jalannya pendidikan untuk ikut berperan aktif dalam
menyumbangkan kreatifitasnya, tidak adanya perencanaan yang sistematis dalam
proses pergantian kepemimpinan (pada umumnya pergantian kepemimpinan disebabkan
oleh faktor alami, seperti kematian), dan tidak adanya peningkatan kualitas
kepemimpinan seiring meningkatnya pengaruh sang kyai dari tingkat lokal sampai
regional, atau bahkan nasional.
Meski
demikian, bukan berarti gaya kepemimpinan kharismatik harus
dihilangkan,mengingat kelebihan yang ditimbulkannya juga cukup dominan. Dalam
konteks ini, diktum al-muhafazhatu ‘ala al-qadim al-sholih wa al-akhdzu bi
al-jadid al- ashlah patut untuk dikedepankan.
4.1. Kesimpulan
Manajemen pengelolaan pondok pesantren merupakan
salah satu kelemahan pondok pesantren pada umumnya yang harus diberdayakan
dalam pembinaan pondok pesantren. Ini memang dimungkinkan terjadi karena
pemahaman bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional,
sehingga pengelolaan manajemennya kurang serius diperhatikan dan sangat
konvensional.
Terlebih dengan wataknya yang bebas, sehingga
menjadikan pola pembinaan pondok pesantren tergantung hanya pada kehendak dan
kecenderungan kyainya saja, padahal sesungguhnya potensi-potensi yang ada dapat
diandalkan untuk membantu penyelenggaraan pondok pesantren.
Pola umum pendidikan
tradisional meliputi dua aspek utama kehidupan di Pesantren Pertama
pendidikan dan pengajaran berlangsung dalam sebuah struktur, metode dan bahkan
literatur yang bersifat tradisional. Kedua, pola umum pendidikan Islam
tradisional selalu memelihara sub-kultur pesantren yang terdiri di atas
landasan ukhrawi yang terimplementasikan dalam bentuk ketundukan mutlak
kepada ulama, mengutamakan ibadah, memuliakan ustaz atau kyai demi memperoleh
pengetahuan agama yang hakiki.
Elemen-elemen pesantren
meliputi lima elemen dasar yaitu; kyai, santri, podok, mesjid dan pengajaran
kitab-kitab Islam klasik atau yang sering disebut dengan kitab kuning. Dalam
struktur organisasi pesantren tradisional, peran kyai sangat menonjol, kyai
sering kali menempapti atau bahkan ditempatkan sebagai pemimpin tunggal yang
mempunyai kelebihan (maziyah) yang tidak dimiliki oleh masyarakat pada
umumnya.
Oleh karena itu pondok pesantren harus diarahkan ke
manajerial yang aplikatif, inklusif dan fleksibel, sehingga proses pembelajaran
dalam pendidikan di pondok pesantren tidak monoton. Adapun prinsip nilai pada
pondok pesantren adalah berorientasi pada masalah ketuhanan.
4.2. Saran – Saran
Pesantren sebagai
lembaga pendidikan memiliki sejarah yang cukup panjang dalam membangun
pendidikan khususnya bangsa Indonesia, sehingga diperlukan upaya untuk terus
diadakan pengkajian dan penelitian sehingga kita mendapatkan informasi yang
jelas.
Setiap organisasi, termasuk pendidikan pondok
pesantren memiliki aktivitas-aktivitas pekerjaan tertentu dalam rangka mencapai
tujuan organisasi. Salah satu aktivitas tersebut adalah manajemen. Dengan
pengetahuan manajemen, pengelola pondok pesantren bisa mengangkat dan
menerapkan prinsip-prinsip dasar serta ilmu yang ada di dalam Al-Qur’an dan
Hadis ke dalam lembaganya tersebut. Maka hanya dengan manajemen lembaga
pendidikan pesantren diharapkan dapat berkembang sesuai harapan, karena itu
manajemen merupakan sebuah niscaya bagi lembaga pendidikan Islam atau pesantren
untuk mengembangkan lembaganya ke arah yang lebih baik.
Seperti diketahui bahwa sebagai sebuah sistem
pendidikan Islam, pondok pesantren juga harus
mengandung berbagai komponen yang saling berkaitan satu sama lainnya,
komponen tersebut meliputi landasan, tujuan, kurikulum, kompetensi dan
profesionalisme guru, pola hubungan guru dan murid, metodologi pembelajaran,
sarana prasarana, evaluasi pembiayaan dan lain sebagainya.
4.3. Daftar Pustaka
Ali, Mukti, Beberapa
Persoalan Dewasa Ini, Jakarta: Rajawali Press, 1987
Haedari, Amin, dkk, Masa
Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan Kompleksitas global, Cet, 1;
Jakarta: IRD Press, 2004
Herujito, Yayat M.
2001. Dasar-dasar Manajemen.
Grasindo. Jakarta.
http://www.bimbingan.org/pengertian-tradisional-dan-contohnya.htm
Mastuhu, Dinamika
Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsurmdan Nilai Sistem Pendidikan
Pesantren, Jakarta: INIS, 1994
Syukri Zarkasyi,
Abdullah, Manajemen Pesantren Pengalaman Pondok Modern Gontor, Cet ke-2;
Ponorogo: Trimurti Press, 2005
Thaha, M. Chatib, Strategi
Pendidikan Islam dalam Mengembangkan Manusia Indonesia yang berkualitas, Makalah
Seminar oleh KMA PBS IAIN Walisongo, 1990
Wahid, Abdurahman, Kepemimpinan
Dalam Pengembangangan Pesantren dalam Bunga Rampai Pesantren, Jakarta: CV
Dharma Bhakti, tt
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, cet II, Jakarta: LP3ES, 1986
[1]
http://herugan.com/pengertian-defenisi-dan-fungsi-fungsi-manajemen
[2] Yayat M.
Herujito, Dasar-dasar Manajemen. Grasindo. Jakarta.
[3]
http://eprints.walisongo.ac.id/1484/4/105112054_Tesis_Bab2.pdf
[4]
http://artikata.com/arti-354966-tradisional.html
[5]
http://www.bimbingan.org/pengertian-tradisional-dan-contohnya.htm
[6] Mastuhu, Dinamika
Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem
Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994) h. 20-25
[7] Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, cet II,
(Jakarta: LP3ES, 1986), h. 21
[8] Abdurrahman
Wahid, Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta: dharma Bhakti, tt) h. 73-74
[9] Amin Haedari,
dkk, Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan Kompleksitas
global, (Cet, 1; Jakarta: IRD Press, 2004), h. 25
[10] Mastuhu, op.cit.,
h.55-56
[11] Abdurahman
Wahid, op. Cit. h. 168
[12] Matuhu, Gaya
dan Suksesi Kepemimpinan Pesantren (Vol II; Jakarta: Jurnal Ulumul Qur’an,
1990) h. 88
[13] Ibid, h.
91-95
Tidak ada komentar:
Posting Komentar