Minggu, 29 Juni 2014

(Makalah) ‘MANAJEMEN PONDOK PESANTREN TRADISIONAL’

KATA PENGANTAR


Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Manajemen Pondok Pesantren Tradisional”. Makalah ini di susun dalam rangka memenuhi tugas kelompok mata kuliah Manajemen Berbasis Sekolah.
Penyusun menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna sempurnanya makalah ini. Penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang penyusun hadapi. Namun, penyusun menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini mendapat bimbingan dari Dosen mata kuliah Manajemen Berbasis Sekolah, serta rekan satu kelompok yang telah berkerja sama.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.


Bekasi,30 Juni 2014

 Penyusun
 





DAFTAR ISI





1.1.  Pendahuluan
Dalam prinsip ajaran Islam, segala sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan melainkan harus dilakukan secara rapi, benar, tertib, dan teratur dan proses-prosesnya juga harus diikuti dengan tertib.
Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw bersabda : yang artinya : “Sesungguhnya Allah sangat mencintati orang yang jika melakukan sesuatu pekerjaan, dilakukan secara Itqan (tepat, terarah, jelas dan tuntas)”. (HR Thabrani)
Sebenarnya, manajemen dalam arti mengatur segala sesuatu agar dilakukan dengan baik, tepat dan tuntas merupakan hal yang disyariatkan dalam ajaran Islam, sebab dalam islam arah gayah (tujuan) yang jelas, landasan yang kokoh, dan kaifiyah yang benar merupakan amal perbuatan yang dicintai Allah swt.
Setiap organisasi, termasuk pendidikan pondok pesantren memiliki aktivitas-aktivitas pekerjaan tertentu dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Salah satu aktivitas tersebut adalah manajemen. Dengan pengetahuan manajemen, pengelola pondok pesantren bisa mengangkat dan menerapkan prinsip-prinsip dasar serta ilmu yang ada di dalam Al-Qur’an dan Hadis ke dalam lembaganya tersebut.
Pondok pesantren merupakan pendidikan tertua dan sampai saat ini memiliki kepercayaan yang tinggi dari masyarakat sekitar. Oleh karena itu, pesantren harus mulai membangun dirinya secara “kualitas”, seperti halnya pada pola manajemen pondok pesantren tradisional yang perlu sentuhan dalam mengelolanya, supaya dalam proses pembelajaran bisa progres. Dengan adanya kemajuan dalam manajemen diharapkan pondok pesantren mampu menghasilkan output yang siap menghadapi tantangan zaman, namun dalam hal ini tak sedikit pondok pesantren yang masih menggunakan pola manjemen pondok pesantren tradisional.
Dalam struktur pendidikan nasional, pesantren merupakan mata rantai yang sangat penting. Hal ini tidak hanya karena sejarah kemunculannya yang relatif lama, tetapi juga karena pesantren telah secara signifikan ikut andil dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam sejarahnya, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat (society based-education). Dalam kenyataannya, pesantren telah mengakar dan tumbuh dari masyarakat, kemudian dikembangkan oleh masyarakat.
Pesantren merupakan kenyataan sosial yang sudah mapan dalam masyarakat Indonesia, namun tidak memperoleh perhatian dan intervensi yang signifikan dari pemerintah untuk mengembangkan ataupun memberdayakannya. Hal ini menjadikan pesantren tumbuh dengan kemampuan sendiri, yang pada akhirnya menumbuhkan varian yang sangat besar, karena sangat tergantung pada kemampuan masyarakat itu sendiri. Kesan yang muncul adalah bahwa pesantren merupakan lembaga yang eksklusif dan kurang mengakomodasi perkembangan zaman dalam hal sistem pembelajaran serta manajemen pengelolaannya.
Dalam manajemen pesantren dan sistem pembelajarannya mempunyai karakteristik tersendiri, terutama tidak menganut ketentuan – ketentuan formal dan prosedur yang ketat. Dalam pembelajaran pesantren tradisional tidak dijumpai komponen – komponen pembelajaran formal, seperti daftar santri pengajian, daftar pelajaran, desain pembelajaran, media pembelajaran, dan tidak ada pula evaluasi hasil belajar. Mata pelajaran yang diajarkan hanyalah ilmu – ilmu keagamaan, terutama dari kitab – kitab abad pertengahan yang dikenal dengan kitab – kitab kuning (al-kutub al-qadimah). Metode pendekatan yang berkisar pada sorogan, bandongan, cocogan, setoran, muthalaah dan musyawarah.
Jika ditinjau dari sistem pendidikan yang diterapkan di pondok pesantren, pendekatan yang sering dipergunakannya adalah pendekatan holistik, hal itu dibuktikan paling tidak dengan prinsip – prinsip yang tercermin dari sistem pendidikannya. Sistem pendidikan pesantren, mendasarkan filsafat pendidikannya pada filsafat theocentric, yang memandang bahwa semua aktivitas pendidikan dipandang sebagai ibadah kepada Allah Swt. dan merupakan bagian integral dari totalitas kehidupan muslim, sehingga belajar dan mengajar di pesantren tidak dipandang sebagai alat tetapi dipandang sebagai tujuan.
Implikasi dari prinsip tersebut, maka para pengajar di Pondok Pesantren memandang bahwa kegiatan di pesantren sebagai ibadah kepada Allah Swt., sukarela dan dijadikan sebagai media pengabdian kepada sesama manusia dalam rangka mengabdi kepada Allah Swt. Hal itu juga tercermin dari kearifan dan kesederhanaan hidupnya sehari-hari yang menyiratkan semacam kesadaran transcendental. Kesederhanaan di sini adalah identik dengan kemampuan bersikap dan berpikir wajar, proporsional, dan tidak tinggi hati.
Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat diketahui fokus masalah dalam makalah difokuskan pada ‘Manajemen di Pondok Pesantren Tradisional’.



2.1.  Manajemen

Kata manajemen berasal dari bahasa Prancis kuno ménagement, yang artinya seni melaksanakan dan mengatur[1]. Menurut Mary Parker Follet,  manajemen sebagai seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Definisi ini berarti bahwa seorang manajer bertugas mengatur dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi. Menurut Ricky W. Griffin : sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran (goals) secara efektif dan efesien. Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara efisien berarti bahwa tugas yang ada dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai dengan jadwal.
Manajemen adalah pengelolaan suatu pekerjaan untuk memperoleh hasil dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan dengan cara menggerakan orang-orang lain untuk bekerja[2]. Istilah manajemen mengandung tiga pengertian yaitu :
1.         Manajemen sebagai suatu proses.
2.         Manajemen sebagai kolektivitas orang-orang yang melakukan aktivitas manajemen.
3.         Manajemen sebagai suatu seni (Art) dan sebagai suatu ilmu pengetahuan (Science).

2.2.  Pondok Pesantren

Menurut asal katanya pesantren berasal dari kata ”santri” yang mendapat imbuhan awalan ”pe” dan akhiran ”an” yang menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang pula pesantren dianggap sebagai gabungan dari kata ”santri” (manusia baik) dengan suku kata ”tra” (suka menolong) sehingga kata pesantren dapat diartikan tempat pendidikan manusia baik-baik[3] (Zarkasy, 1998: 106).
Pesantren juga dikenal dengan tambahan istilah pondok yang dalam arti kata bahasa Indonesia mempunyai arti kamar, gubug, rumah kecil dengan menekankan kesederhanaan bangunan atau pondok juga berasal dari bahasa Arab ”Fundũq” yang berarti ruang tidur, wisma, hotel sederhana, atau mengandung arti tempat tinggal yang terbuat dari bambu.
Pesantren atau lebih dikenal dengan istilah pondok pesantren dapat diartikan sebagai tempat atau komplek para santri untuk belajar atau mengaji ilmu pengetahuan agama kepada kiai atau guru ngaji, biasanya komplek itu berbentuk asrama atau kamar-kamar kecil dengan bangunan apa adanya yang menunjukkan kesederhanaannya.
Menurut Mastuhu (1994: 55) pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Dari berbagai pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisional yang mempelajari ilmu agama (tafaqquh fi al-dîn) dengan penekanan pada pembentukan moral santri agar bisa mengamalkannya dengan bimbingan kiai dan menjadikan kitab kuning sebagai sumber primer serta masjid sebagai pusat kegiatan.

2.3.  Tradisonal

Tradisi (Bahasa Latin: traditio, “diteruskan”) atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya pada satu negara, kebudayaan, waktu tertentu atau penganut agama. Tradisi merupakan akar dari kebudayaan yang bisa menjadi sebuah kondisi yang aman dan nyaman bagi masyarakatnya untuk melakukan berbagai kegiatan dalam kehidupan sehari – hari.
Tradisional adalah sikap dan cara berpikir serta bertindak yg selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yg ada secara turun-temurun[4]. Tradisional dalam hubungannya dengan kehidupan manusia dapat diartikan sebagai sesuatu yang mengarah pada kebiasaan masyarakat dalam melakukan aktivitas kehidupan.
Dengan demikian, sifat – sifat tradisi sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia yang tinggal di dalamnya, meskipun peradaban dan berbagai kondisi kehidupan telah berubah secara signifikan, namun hal tersebut tidak akan dengan cepat mengubah kebiasaan atau tradisi asalnya[5].
Manajemen pondok pesantren tradisional adalah suatu proses dan perencanaan dalam sebuah lembaga pendidikan tradisional Islam yang masih bersifat turun-menurun yang berpegang teguh pada adat kebiasaan dan norma, untuk memperoleh hasil dari pencapaian tujuan sesuai dengan Al-Quran dan Hadis.


3.1.  Karakteristik Pendidikan Islam Tradisional
Secara etimologis, kata “tradisional” berasal dari kata dasar tradisi yang berarti tatanan, budaya atau adat yang hidup dalam sebuah komunitas masyarakat. Karenanya, tradisional diartikan konsensus bersama untuk ditaati serta dijunjung tinggi oleh sebuah komunitas masyarakat setempat.
Bila dikaitkan dengan sistem pendidikan dalam Islam, pandangan kita selalu tertuju pada pesantren. Pesantren sebagai sistem pendidikan  di Indonesia yang menganut sistem tradisional. Ulil Abshar Abdallah dalam artikelnya, menyatakan bahwa pesantren satu-satunya lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang mewarisi tradisi intelektual Islam tradisional. Identifikasi ini mengukuhkan pesantren  dengan segala infrastrukturnya merupakan lembaga pendidikan di Indonesia yang masih menjunjung tinggi tradisi dan budaya otentik bangsa.
Mastuhu menuliskan, sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional, pesantren mempunyai empat ciri khusus yang menonjol. Mulai dari hanya memberikan pelajaran agama versi kitab-kitab Islam klasik berbahasa Arab, mempunyai tekhnik pengajaran yang unik yang biasa dikenal dengan metode sorogan dan bandongan atau wetonan, mengedepankan hafalan, serta menggunakan sistem halaqah.
Metode halaqah merupakan kelompok kelas dari sistem bandongan. Halaqah berarti lingkaran murid, atau sekelompok santri yang belajar di bawah bimbingan seorang ustadz dalam satu tempat. Dalam prakteknya, halaqah dikategorikan sebagai diskusi untuk memahami isi kitab, bukan mempertanyakan kemungkinan benar salahnya apa apa yang diajarkan oleh kitab. Halaqah dinilai hanya cocok bagi pengembangan intelektual kelas santri yang cerdas, rajin, serta bersedia mengorbankan waktu yang besar untuk belajar.
Halaqah berhasil sebagai metode penyajian bahan pelajaran yang mampu menanamkan  dan mengembangkan kreativitas, sikap kritis, logis, dan analitis secara sekaligus, disamping juga mampu memotivasi seluruh peserta untuk terus belajar dan berkompetisi dalam mengembangkan wawasan keilmuan secara mandiri. Hal ini mengingat metodologi halaqah menempatkan kiai atau hanya sebagai  “moderator[6]. Selain halaqah, dalam dunia pesantren dikenal beberapa metedologi pengajaran sebagai berikut:
1.        Hafalan (Tahfizh).
Sebagai sebuah metedologi pengajaran, hafalan pada umumnya diterapkan pada mata pelajaran yang bersifat nadham (syair), bukan natsar (prosa), dan itupun pada umumnya terbatas pada ilmu kaidah bahaga arab, seperi  Nadhm AL-‘Imrithi, Afiyyah ibn Malik, Nadhm Al-Maqsud, Nadhm Jawabir Al-Maknun, dan lain sebagainya.
Oleh karena mengharuskan santri untuk menghafal, metode ini sangat relevan apabila diterapkan kepada santri yang masih tergolong anak-anak, tingkat dasar, dan tingkat menengah. Sedangkan pada usia diatas itu, metode hafalan sebaiknya dikurangi sedikit demi sedikit, dan lebih tepat digunakan untuk rumus dan kaidah-kaidah. Hal ini disebabkan pada usia tersebut,tingkat kemampuan menghafal santri cenderung semakin lemah seiring dengan menguatnya daya nalar dan pemahannya.
Dalam aplikasinya, metode ini biasanya diterapkan dengan dua cara. Pertama, pada setiap kali tatap muka, setiap santri diharuskan membaca tugas-tugas hafalannya dihadapan kyai atau ustadz. Jika ia hafal dengan baik, ia diperbolehkan untuk melanjuti tugas hafalan berikutnya. Sebaliknya jika ia belum berhasil, ia di haruskan mengulang lagi sampai lancar untuk disetorkan kembali pada pertemuan yang akan datang. Kedua, seorang kyai atau ustadz menugaskan santrinya untuk mengucapkan bagian-bagian tertentu dari hafalan yang telah ditugaskan kepada mereka, atau  melanjutkan kalimat atau lafadz yang telah diucapkan oleh gurunya.
2.        Hiwar atau Muhawarah
Hiwar dalam dunia pesantren selain sebagai alat komunikasi, hiwar juga merupakan metode yang hampir sama dengan metode diskusi yang umum kita kenal. Sebagi sebuah metode, hiwar merupakan aspek dari proses belajar dan mengajar di pesantren yang telah menjadi tradisi, khususnya bagi santri-santri yang mengikuti sistem klasikal. Oleh karenanya, kegiatan ini merupakan suatu keharusan. Bagi mereka yang tidak mengikuti atau mengindahkan peraturan  kegiatan hiwar atau musyawarah, akan dikenai sangsi, karena  musyawarah sudah menjadi ketetapan  pesantren yang harus di taati untuk dilaksanakan.
Dalam pelaksanaannya, para santri melakukan kegiatan belajar secara kelompok untuk membahas bersama materi kitab, yang telah diajarkan oleh kyai atau ustadz. Dalam belajar kelompok ini, mereka tidak hanya membahas segala sesuatu yang berkenaan dengan topik/sub topik bahasan kitab belaka. Lebih dari itu, tidak jarang  mereka juga memperluas cakupan diskusinya, hingga mencakup  pembahasan tentang lafadz demi lafadz dan kalimat demi kalimat jika ditinjau dari gramatika bahasa Arab (ilmu alat). Semua merupakan bagian integral dari usaha mereka untuk bisa memahami makna hingga dapat  menyimpulkannya. Sejalan dengan itu, metode ini dinilai sangat efektif dan relatif cukup berhasil sehingga sampai saat ini.

3.        Metode Bahtsul Masa’il (Mudzakaroh)
Mudzakaroh atau bahtsul Masa’i  merupakan pertemuan ilmiah untuk membahas masalah diniyah, seperti ibadah, akidah, dan permasalahan-permasalahna agama lainnya. Metode ini sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan metode musyawarah. Bedanya, sebagai sebuah metodologi mudzakarah pada umumnya hanya diikuti oleh para kyai atau para santri tingkat tinggi. Dalam kaitan ini Mudzakarah (diskusi) terbagi dua, yaitu:
a.         Mudzakarah yang diadakan antar sesama kyai atau ustadz. Pada tipe ini, biasanya disediakan kitab kitab besar yang merupakan rujukan utama serta dilengkapi dengan dalil-dalil dengan metode Istimbath (pengambilan hukum) yang lengkap. Metode ini pada umumnya bertujuan untuk memecahkan permasalahan agama dan kemasyarakatan yang timbul, disamping juga untuk memperdalam pengetahuan agama.
b.         Mudzakarah,  yang diadakan antar sesama santri. Bertujuan untuk melatih para santri dalam memecahkan masalah dengan menggunakan rujukan-rujukan yang jelas, serta melatih santri tentang cara berarguemntasi dengan menggunakan nalar. Biasanya dipimpin oleh ustadz atau santri yang ditunjuk oleh kyai.
4.        Fathul Kutub
Fathul Kutub merupakan kegiatan latihan membaca kitab (terutama kitab klasik) yang umumnya ditugaskan kepada santri senior di pondok pesantren. Sebagai sebuah metode Fathul Kutub bertujuan menguji kemampuan mereka dalam membaca kitab kuning, khususnya setelah mereka berhasil mengerjakan mata pelajaran kaidah bahasa Arab. Metode ini biasanya dikhususkan bagi santri yang sudah akan menyelesaikan pendidikannya di sebuah Pondok Peantren.
5.        Muqoronah
Muqoronah adalah sebuah metode yang berfokus pada kegiatan perbandingan, baik perbandingan materi, paham, metode, maupun perbandingan kitab. Metode ini hanya diterapkan pada kelas-kelas santri senior (Mahad ‘ali) saja.
6.        Muharawah atau Muhadatsah
Muhawarah merupakan latihan bercakap-cakap dengan menggunakan Bahasa Arab. Metode ini digunakan untuk berbicara baik dengan sesama santri maupun dengan para ustaz atau kyai.
Berbeda dengan metode pendidikan di atas, Zamakhsyari Dhofier lebih meliha kekhasan pola umum pendidikan Islam tradisional dari sisi tujuan pendidikannya. Dalam tradisi pesantren, Zamakhsyari menjelaskan bahwa ssalah satu keunikan dari pola pendidikan yang dilaksanakan di pesantren adalah tujuan pendidikannya yang tidak semata-mata berorientasi memperkaya pikiran santri dengan penjelasan-penjelasan, tetapi juga menitik beratkan pada peningkatan moral, melatih da mempertinggi semangat menghargai nilai-nilai spritual dan humanistik, mengajarkan kejujuran serta mengajarakan hidup sederhana. Dalam hal ini tujuan pendidikan pesantren bukan untuk duniawi tetapi untuk ibadah kepada Allah Swt[7]. Secara lebih rinci Abdurahman Wahid menjelaskan, pola umum pendidikan tradisional meliputi dua aspek utama kehidupan di Pesantren[8].
Pertama pendidikan dan pengajaran berlangsung dalam sebuah struktur, metode dan bahkan literatur yang bersifat tradisional, baik dalam bentuk pendidikan non formal seperti halaqah maupun pendidikan formal seperti madrasah dengan ragam dan tingkatannya. Adapun ciri utama dari pendidikan dan pengajaran tradisional adalah ditekankan pada pengajaran lebih bersifat kepada pemahaman tekstual (letterlijk atau harfiyah), pendekatan yang digunakan lebih berorientasi pada penyelesian pembacaan terhadap sebuah kitab atau  buku untuk kemudian beralih kepada kitab berikutnya, dan kurikulumnya tidak bersifat klasikal.
Kedua, pola umum pendidikan Islam tradisional selalu memelihara sub-kultur pesantren yang terdiri di atas landasan ukhrawi yang terimplementasikan dalam bentuk ketundukan mutlak kepada ulama, mengutamakan ibadah, memuliakan ustaz atau kyai demi memperoleh pengetahuan agama yang hakiki.
3.2.  Elemen-elemen Pesantren
Hampir dapat dipastikan, lahirnya suatu pesantren berawal dari beberapa elemen dasar yang selalu ada di dalamnya. Ada lima elemen dasar pesantren, antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Kelima elemen tersebut meliputi; kyai, santri, podok, mesjid dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau yang sering disebut dengan kitab kuning[9].
Mastuhu mengklasifikasikan perangkat-perangkat pesantren meliputi aktor atau pelaku seperti kyai dan santri. Perangkat keras pesantren meliputi mesjid, asrama, pondok, rumah kyai dan sebagainya. Sementara perangkat lunaknya adalah tujuan kurikulum, metode pengajaran, evaluasi, dan alat-alat penunjang pendidikan lainnya[10]. Namun demikian elemen-elemen pesantren tergantung pada besar kecilnya, program pendidikan yang dijalankan pesantren. Untuk pesantren yang berskala kecil dan hanya sekedar mengelola pondok pesantren saja, maka hanya kelima elemen dasar tersebut yang menjadi elemen pesantren. Dan kelima elemen inilah yang menjadi objek manajemen.
3.3.  Struktur Organisasi dan pola Manajemen Pesantren Tradisional
Setiap pesantren memiliki struktur organisasi sendiri-sendiri yang berbeda-beda satu terhadap yang lain, sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Meskipun  demikian, daripadanya dapat di simpulkan adanya kesamaan-kesamaan yang menjadi ciri-ciri umum struktur organisasi pesantren, dan tampak adanya kecenderungan perubahan yang sama di dalam menatap masa depannya, sebagai berikut :
a.         Pada dasarnya struktur organisasi pesantren dapat digolongkan menjadi dua sayap sesuai dengan pembagian jenis nilai yang mendasarinya, yaitu nilai agama dengan kebenaran absolut dan nilai agama dengan kebenaran relatif.
b.        Sesuai dengan hierarkis pembagian jenis nilai, maka sayap 1 mempunyai supremasi terhadap sayap 2, dan oleh karena itu sayap 2 tidak boleh bertentangan dengan sayap 1, apalagi kalau sampai melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar akidah-syariah agama dan sunnah pondok.
c.         Sayap satu dijaga oleh kyai utama dan dibantu oleh kiai-kiai dan ustaz yang telah dinilai kemampuan  ilmu agamanya oleh kyai utama. Para pembantu kyai utama ini adalah juga santri-santri dari kyai utama. Sayap 2 dijaga oleh kyai-kyai muda, ustaz dan santri.
d.        Kyai utama merupakan pimpinan spritual dan tokoh kunci pesantren. Kedudukan, kewenangan, dan kekuasaannya amat kuat. Hubungan antarsantri, dan antara santri dan pimpinan (kiai, ustaz, dan pengurus) bersifat kekeluargaan dan penuh hormat.
e.         Pembagian kerja antar unit-unit kerja sering kali kurang tajam dan banyak terdapat kesamaan. Misalnya antara unit  yang mengurusi pendidikan dan pengajaran dengan unit yang mengurusi pengajian, kehumasan, kemasyarakatan, kesejahteraan santri, dan sebagainya sering kali mempunyai tugas yang sama.
f.         Gaya kerja dalam struktur organisasi pesantren pada umumnya masih merupakan garis lurus ke atas, artinya setiap unit kerja  bergantung pada atasan langsung.
Dalam struktur organisasi pesantren tradisional, peran kyai sangat menonjol. Pembahasan tentang peranan kyai dalam kepemimpinan masyarakat tradisional tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan gaya kepemimpinan kyai dalam pesantren. Gaya kepemimpinan sorang kyai merupakan salah satu ciri khas atau bahkan menjadi bagian, meminjam istilah Gus Dur, subculture sebuah masyarakat tradisional (pesantren). Berbeda dengan gaya kepemimpinan lainnya, kyai pesantren sering kali menempati atau bahkan ditempatkan sebagai pemimpin tunggal yang mempunyai kelebihan (maziyah) yang tidak dimiliki oleh masyarakat pada umumnya[11].
Berawal dari kesabaran, kegigihan, dan kemandirian sang kyai untuk mengimplemasikan cita-cita luhurnya dalam bentuk pendirian pondok pesantren, segala sesuatunya berjalan layaknya air yang mengikuti laju arusnya. Implikasinya, kesenjangan kualitas antara seorang pemimpin dengan lainnya tidak bisa dihindarkan. Ironisnya, bukannya kenaikan, grafik kesenjangan kualitas tersebut pada umumnya menunjukkan kemunduran dan penurunan pada tingkat penerusnya. Meski demikian, kemutlakan dan kepemimpinan tunggal dalam  sebuah masyarakat tradisional terus berlangsung. Sifat  mutlak inilah yang kemudian dikenal sebagai kharismatik.
Kharismatik, demikian simpulan dari hasil penelitian yang dilakukan Mastuhu berkenaan dengan gaya kepemimpinan  kyai di enam lembaga pesantren yang dinilainya mempunyai tipe kepemimpinan  yang khas. Meski dengan kadar yang berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan paradigma penyelenggara pendidikannya, kepemimpinan kharismatik tetap menjadi gaya yang paling dominan dianut para pengasuh pesantren. Sementara itu, rasionalistik sebagai antonim dari kharismatik  hanya memperoleh porsi yang sedikit untuk dijadikan sebagai gaya kepemimpinan[12].
3.4.  Pola Manajemen Pondok Pesantren Tradisonal
Dari gaya kepemimpinan kharismatik ini, Mastuhu kemudian menemukan dua pola hubungan yang unik antara kyai dan santri. Sebagaimana  gaya kepemimpinan  sang kyai, dua pola hubungan ini juga terdapat disebuah obyek penelitiaanya. Dua pola hubungan tersebut adalah sebagai berikut[13]:
Pertama, pola hubungan otoriter-paternalistik. Yaitu pola hubungan antara pimpinan dan bawahan atau, meminjam istilah James C. Scott, patron-client relationship; dan tentunya sang kyailah yang menjadi pimpinannya. Sebagai bawahan, sudah barang tentu peran partisipatif santri dan masyarakat tradisional pada umumnya, sangat kecil, untuk mengatakan tidak ada; dan hal ini tidak bisa dipisahkan dari kadar  kekharismatikan sang kyai. Seiring dengan itu, pola hubungna ini kemudian diperhadapkan denga pola hubungan diplomatik-partisipatif. Artinya, semakin kuat pola hubungan yang satu semakin lemah yang lainnya.
Kedua, pola hubungan laissez faire. Yaitu pola hubungan  kyai santri yang tidak didasarkan  pada tatanan organisasi yang jelas. Semuanya didasarkan pada konsep ikhlas, barakah, dan ibadah  sehingga pembagian kerja antar unit tidak dipisahkan secara tajam. Seiring dengan itu, selama memperoleh restu sang kyai, sebuah pekerjaan bisa dilaksanakan. Pola hubungan ini kemudian diperhadapkan dengan pola hubungan birokratik. Yaitu pola hubungan  di mana pembagian kerja dan fungsi dalam lembaga pendidikan pesantren sudah diatur  dalam sebuah struktur organisasi yang jelas.
Dari sini dapat dipahami bahwa kharisma yang dimiliki  seorang kyai inilah yang kemudian menyebabkan mereka mempunyai peran kepemimpinan dalam lingkungannya. Bahkan, dengan kekharismaan yang demikian besar, kyai tidak hanya berperan sebagai pengasuh atau tokoh spritual dalam masyarakat. Lebih dari itu, mereka juga berperan atau diperankan sebagai pimpinan masyarakat, bapak, dan pelindung.
Sebagai sebuah gaya kepemimpinan, sudah barang tentu terdapat  kelebihan dan kekurangannya. Gaya kepemimpinan kharismatik  memang diperlukan pada tahap awal perkembangan pesantren. Diungkap Sukamto, kepemimpinan kharismatik paternalistik cenderung menunjukkan bobot rasa tanggung jawab kyai yang cukup besar perhatian secara pribadi terhadap para pengikutnya. Dengan demikian, kyai dapat memberikan pelindung sebaik-baiknya demi terjaganya persatuan dan kesatuan kelompok masyarakat yang dipimpinnya.
Kelemahan justru muncul pada saat gaya kepemimpinan ini terus diadopsi  secara berkelanjutan. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah tidak adanya kepastian tentang perkembangan pesantren disebabkan segala sesuatunya bergantung pada keputusan pimpinan, adanya keraguan dan bahkan ketidakberanian tenaga-tenaga kreatif yang ikut membantu jalannya pendidikan untuk ikut berperan aktif dalam menyumbangkan kreatifitasnya, tidak adanya perencanaan yang sistematis dalam proses pergantian kepemimpinan (pada umumnya pergantian kepemimpinan disebabkan oleh faktor alami, seperti kematian), dan tidak adanya peningkatan kualitas kepemimpinan seiring meningkatnya pengaruh sang kyai dari tingkat lokal sampai regional, atau bahkan nasional.
Meski demikian, bukan berarti gaya kepemimpinan kharismatik harus dihilangkan,mengingat kelebihan yang ditimbulkannya juga cukup dominan. Dalam konteks ini, diktum al-muhafazhatu ‘ala al-qadim al-sholih wa al-akhdzu bi al-jadid al- ashlah patut untuk dikedepankan.



4.1.  Kesimpulan

Manajemen pengelolaan pondok pesantren merupakan salah satu kelemahan pondok pesantren pada umumnya yang harus diberdayakan dalam pembinaan pondok pesantren. Ini memang dimungkinkan terjadi karena pemahaman bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional, sehingga pengelolaan manajemennya kurang serius diperhatikan dan sangat konvensional.
Terlebih dengan wataknya yang bebas, sehingga menjadikan pola pembinaan pondok pesantren tergantung hanya pada kehendak dan kecenderungan kyainya saja, padahal sesungguhnya potensi-potensi yang ada dapat diandalkan untuk membantu penyelenggaraan pondok pesantren.
Pola umum pendidikan tradisional meliputi dua aspek utama kehidupan di Pesantren Pertama pendidikan dan pengajaran berlangsung dalam sebuah struktur, metode dan bahkan literatur yang bersifat tradisional. Kedua, pola umum pendidikan Islam tradisional selalu memelihara sub-kultur pesantren yang terdiri di atas landasan ukhrawi yang terimplementasikan dalam bentuk ketundukan mutlak kepada ulama, mengutamakan ibadah, memuliakan ustaz atau kyai demi memperoleh pengetahuan agama yang hakiki.
Elemen-elemen pesantren meliputi lima elemen dasar yaitu; kyai, santri, podok, mesjid dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau yang sering disebut dengan kitab kuning. Dalam struktur organisasi pesantren tradisional, peran kyai sangat menonjol, kyai sering kali menempapti atau bahkan ditempatkan sebagai pemimpin tunggal yang mempunyai kelebihan (maziyah) yang tidak dimiliki oleh masyarakat pada umumnya.
Oleh karena itu pondok pesantren harus diarahkan ke manajerial yang aplikatif, inklusif dan fleksibel, sehingga proses pembelajaran dalam pendidikan di pondok pesantren tidak monoton. Adapun prinsip nilai pada pondok pesantren adalah berorientasi pada masalah ketuhanan.

4.2.  Saran – Saran

Pesantren sebagai lembaga pendidikan memiliki sejarah yang cukup panjang dalam membangun pendidikan khususnya bangsa Indonesia, sehingga diperlukan upaya untuk terus diadakan pengkajian dan penelitian sehingga kita mendapatkan informasi yang jelas.
Setiap organisasi, termasuk pendidikan pondok pesantren memiliki aktivitas-aktivitas pekerjaan tertentu dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Salah satu aktivitas tersebut adalah manajemen. Dengan pengetahuan manajemen, pengelola pondok pesantren bisa mengangkat dan menerapkan prinsip-prinsip dasar serta ilmu yang ada di dalam Al-Qur’an dan Hadis ke dalam lembaganya tersebut. Maka hanya dengan manajemen lembaga pendidikan pesantren diharapkan dapat berkembang sesuai harapan, karena itu manajemen merupakan sebuah niscaya bagi lembaga pendidikan Islam atau pesantren untuk mengembangkan lembaganya ke arah yang lebih baik.
Seperti diketahui bahwa sebagai sebuah sistem pendidikan Islam, pondok pesantren juga harus  mengandung berbagai komponen yang saling berkaitan satu sama lainnya, komponen tersebut meliputi landasan, tujuan, kurikulum, kompetensi dan profesionalisme guru, pola hubungan guru dan murid, metodologi pembelajaran, sarana prasarana, evaluasi pembiayaan dan lain sebagainya.

4.3.  Daftar Pustaka

Ali,  Mukti, Beberapa Persoalan Dewasa Ini, Jakarta: Rajawali Press, 1987
Haedari, Amin, dkk, Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan Kompleksitas global, Cet, 1; Jakarta: IRD Press, 2004
Herujito, Yayat M. 2001. Dasar-dasar Manajemen. Grasindo. Jakarta.
http://www.bimbingan.org/pengertian-tradisional-dan-contohnya.htm
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsurmdan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994
Syukri Zarkasyi, Abdullah, Manajemen Pesantren Pengalaman Pondok Modern Gontor, Cet ke-2; Ponorogo:  Trimurti Press, 2005
Thaha, M. Chatib, Strategi Pendidikan Islam dalam Mengembangkan  Manusia Indonesia yang berkualitas, Makalah Seminar oleh KMA PBS IAIN Walisongo, 1990
Wahid, Abdurahman, Kepemimpinan Dalam Pengembangangan Pesantren dalam Bunga Rampai Pesantren, Jakarta: CV Dharma Bhakti, tt
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, cet II, Jakarta: LP3ES, 1986



[1] http://herugan.com/pengertian-defenisi-dan-fungsi-fungsi-manajemen
[2] Yayat M. Herujito, Dasar-dasar Manajemen. Grasindo. Jakarta.
[3] http://eprints.walisongo.ac.id/1484/4/105112054_Tesis_Bab2.pdf
[4] http://artikata.com/arti-354966-tradisional.html
[5] http://www.bimbingan.org/pengertian-tradisional-dan-contohnya.htm
[6] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994) h. 20-25
[7] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, cet II, (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 21
[8] Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta: dharma Bhakti, tt) h. 73-74
[9] Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan Kompleksitas global, (Cet, 1; Jakarta: IRD Press, 2004), h. 25

[10] Mastuhu, op.cit., h.55-56
[11] Abdurahman Wahid, op. Cit. h. 168
[12] Matuhu, Gaya dan Suksesi Kepemimpinan Pesantren (Vol II; Jakarta: Jurnal Ulumul Qur’an, 1990) h. 88
[13] Ibid, h. 91-95

Tidak ada komentar:

Posting Komentar