Jumat, 11 April 2014

(Makalah Fiqih Munakahat) WALI DAN SAKSI DALAM PERNIKAHAN

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah kami panjatkan puja dan puji syukur  kehadirat Allah SWT. Yang mana dengan Taufiq dan Hidayah serta Inayah-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah Fiqih Munakahat yang sederhana  ini.
Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allah SWT., kepada Nabi Muhammad Saw, seluruh keluarganya, para sahabat, tabi’in, dan tabi’it-tabi’in, serta para pengikut setia Beliau hingga akhir zaman.
Makalah ini membahas tentang Wali dan Saksi dalam Pernikahan yang dirangkum dari beberapa sumber, dengan maksud agar memudahkan Mahasiswa dalam mempelajari materi perkuliahan ini.
Semoga dengan tersusunnya makalah ini, bisa dijadikan sebagai pelajaran dan bermanfaat untuk kita semua, amin.




Bekasi, 12 April 2014


        Penyusun



     Irpan Maulana





BAB I
PENDAHULUAN

Islam adalah agama dan jalan hidup bagi semesta alam yang berdasarkan kepada firman Allah yang termaktub dalam alqur'an dan sunnah rasulullah. Ada beberapa seperangkat peraturan yang mengikat pada kehidupan manusia dari berbagai aspek kehidupan manusia menjadi tetap beradab dan bernilai ibadah jika saja semua praksis itu di orientasikan kepada Tuhan.
Salah satu ajaran yang terpenting dalam Islam adalah pernikahan (perkawian). Begitu pentingnya ajaran tentang pernikahan tersebut sehingga dalam Al-Qur’an terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung berbicara mengenai masalah pernikahan. Bila kita amati secara mendalam, maka salah satu maksud disyariatkanya agama Islam oleh Allah swt adalah untuk memelihara keturunan.
Pernikahan disyariatkan oleh Islam karena merupakan salah satu usaha untuk memelihara kemuliaan keturunan serta menjadi kunci kemasyarakat. Oleh sebab itu adanya lembaga perkawinan merupakan suatu kebutuhan pokok umat manusia guna memelihara kedamaian dan keteraturan dalam kehidupan. Dengan demikian, maka persoalan perkawinan yang diatur sedemikian rapi oleh Islam bukanlah suatu persoalan yang bisa di kesampingkan begitu saja, tetapi merupakan salah satu institusi suci yang mutlak harus diikuti  dan dipelihara.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Wali Nikah
Secara etimlogis, alwilayah (wali) ialah berasal dari ungkapan wala' asy-syaya' wa ala' alayh iwilayatan/walayatan yang berarti "Mengusainya". ada juga yang mengatakan wala' fulanan wilayatanwa walayatan "membantu dan menolongnya". Sedangkan alwalayatan di tafsirkandengan pertolongan, sedangkan al wilayat di tafsirkan kekuasaan dan kekuatan. Dari makna demikian di sebutkanlah bahwa wali bagi seorang wanita ialah yang mempunyai hak/kekuasaan untuk melakukan akad pernikahannya dan ia tidak membiarkannya di ganggu oleh orang lain.
Sedangkan dalam pengertian terminologis perwalian (wilayah) ialah kekuasaan secara syariat yang di miliki orang yang berhak untuk melakukan tasrharuf (aktifitas) dalam kaitan dengan keadaan/urusan orang lain utnuk membantunya dan ada pemahaman lain tentang wali perwakilan dengan definisi suatu wewenang syar'ie atas segolongan manusia, yang di limpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang di kuasai tersebut, demi kemaslahatan sendiri. semua pengertian ini mengacu kepada kodrat kemanuisaan di mana perempuan sangat membutuhkan kehadiran wali.
B.     Urutan Wali Nikah
Ada beberapa macam wali yang dapat bertindak sebagai wali nikah antara lain sebagai berikut;
a.. ayah
b. kakek dan seterusnya keatas dari garis laki-laki.
c. saudara laki-laki kandung.
d. saudara laki-laki seayah
e. kemenakan laki-laki kandung
f. kemenakanan laki-laki seayah
g. paman kandung
h.paman seayah
i. saudara sepupu ;laki-laki kandung
j. saudara sepupu laki-laki seayah
k. sultan/ hakim
diantara uratan di atas, yang harus menjadi wali nikah sesuai dengan urutannya.

C.    Macam- Macam Wali Dalam Islam
1. Wali Nasab.
Wali nasab artinya anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai perempuan yang mempunyai hubungan darah patrinial dengan calon mepelai perempuan. Wali nasab terbagi menjadi dua,yaitu:
a). Wali mujbir, yaitu wali nasab yang berhak memaksakan kehendaknya utnuk menikahkan calon mempelai perempuan tanpa meminta izin kepada wanita yang bersangkutan hak yang di miliki oleh mujbir di sebut dengan hak ijbar. Wali yang memiliki hak ijbar ini menurut imam syafi'ie hanya ayah, kakek dan seterusnya keatas. Para ulama' berpendapat bahwa wali mujbir dapat mempergunakan hak ijbar, apabila terpenuhi yarat sebagai berikut:
·         Antara wali mujbir dengan calon mempelai tidak ada permusuhan.
·         Laki-laki pilihan wali harus sekufu' dengan wanita yang akan di kawinkan
·          Di antara calon mempelai tidak ada permusuhan
·         Maharnya tidak kurang dari mahar mistsil
·         Laki-laki pilhan wali akan memenuhi kewajiban terhadap istri dan tidak ada kekawatiran menyengsarakan.
b). Wali nasab biasa, yaitu wali nasab yang tidak mempunyai kewenangan untuk memaksa menikah tanpa izin/ persetujuan dari wanita yang bersangkutan. Dengan kata lain wali ini tidak memunyai kewenangan mempergunakan hak ijbar.

2.Wali Hakim
Wali hakim adalah wali nikah yang di tunjuk oleh mentri agams / pejabat yang di tunjuk olehnya, yang di beri hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah, tetapi wewengan wali nasab berpindah ketangan wali hakim apabila;
a. ada pertentangan di antara para wali itu.
b. Bilamana wali nasab tidak ada atau ada tetapi tidak mungkin mengadirkannya, atau tidak di ketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal/enggan. Wali adlal adalah wali yang enggan menikahkan wanita yang telah baligh dan berakal dengan seorang laki-laki pilihannya.
Wanita mana saja yang nikah tapa izin walinya pernikahaannya itu batal, pernikahannya itu batal apabila sang suami telah melakukan hubungan seksual si wanita itu sudah berhak untuk mendapatkan maskwin lantaran apa yang telah ia buat halal pada kemaluan wanita itu. Apabila para wali itu enggan, maka sultanlah yang menjadi wali orang yang tidak ada walinnya.[1]
Syari'at islam menetapkan adanynya wali hakim ini adalah untuk menghadirkan kesukaran pelaksanaan suatu pernikahan, sedangkan pernikahan itu meurpakan kebutuhan dan pelaksanaan pernikahan itu adalah wajar karena wanita itu ingin di nikahkan kepada seoarang laki-laki yang sepadan dan sanggup membayar mahar mitsil, sedangkan wali nasab tidak ada, atau tidak mau menikahkannya , apabila kedua calon mempelai tidak mau menunda pernikahannya sampai ada wali nasab, maka hakimlah yang bertindak sebagai wali nikah, sebab ada hadits yang isinya tidak dapat menunda masalah nikah ini manakala sudah wajar.
D.    Syarat-Syarat Wali
Wali dan saksi bertanggung jawab atas sahnya akad perkawinan oleh karena itu tidak semua orang dapat di terima menjadi wali atau saksi, tetapi hendaklah orang orang yang memiliki berbagai sifat berikut;
1.      islam
2.      baligh
3.      berakal
4.      laki-laki
5.      adil
6.      laki-laki, persyaratan yang terakhir ini sesuai dengan sabda nabi:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا وَالزَّانِيَةُ الَّتِى تُنْكِحُ نَفْسَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا           
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Wanita tidak bisa menjadi wali wanita. Dan tidak bisa pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina-lah yang menikahkan dirinya sendiri.” (HR. Ad Daruquthni, 3: 227. Dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shohihul Jami’ 7298)
E.     Kedudukan Wali
Madzhab malikiyah, syafi'iyah, hambaliyah, serta mayoritas fuqaha elah sepakat pentingnya keberadaan wali dalam akad pernikahan. Setiap pernikahan tanpa menghadirkan wali maka pernikahan tersebut menjadi batal-tidak sah. Jadi, seorang perempuan tidak mempunyai hak untuk melangsungkan akad pernikahan dengan sendirinya secara langsung dalam kondisi bagaimanapun. Hal ini para ulama mendasarkan pendapatnya pada hadits nabi saw, yang diriwayatkan oleh ibnu hibban.
لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل
Artinya:
 “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi”. (HR. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya. Ibnu Hibban berkata bahwasanya tidak shahih penyebutan dua orang saksi kecuali dalam hadits ini).[2]
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Walaupun hadits ini munqothi’ (terputus) hanya sampai di bawah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun kebanyakan para ulama mengamalkan hadits tersebut. Mereka berkata bahwa inilah bedanya antara nikah dan sesuatu yang hanya main-main yaitu dengan adanya saksi.” At Tirmidzi berkata, “Hadits ini diamalkan oleh para ulama dari sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para tabi’in sesudahnya dan selain mereka. Mereka berpendapat bahwa tidak ada nikah kecuali dengan adanya saksi. Tidak ada ulama terdahulu yang berselisih pendapat mengenai hal ini kecuali sebagian ulama belakangan yang berbeda.”[3]
Syaikh Abu Malik berkata bahwa hadits yang membicarakan hal ini saling menguatkan satu dan lainnya. Jika dikatakan “tidak ada nikah”, maka itu menunjukkan bahwa adanya saksi merupakan syarat sahnya nikah.[4]
Syaikh Musthofa Al Bugho berkata, “Persaksian merupakan rukun di antara rukun akad nikah, berbeda dengan akad lainnya karena begitu agungnya dan konsekuensi besar yang ditimbulkan dari akad tersebut. Rukun ini mesti ada demi kehati-hatian dan menghindari pengingkaran. Konsekuensinya pun bisa berakibat pada pelalaian hak-hak dan nasab.”[5]
Menurut pendapat ulama', maksud hadits di atas, kata "la nikaha illa bi waliyyi" adalah penafsiran diarahkan, baik kepada zat syariah (substansi syariat) sebab zat yang ada, yakni gambaran akad tanpa wali bukan merupakan syariat. Atau, penafian tersrbut diarahkan atau dimaksudkan kepada sah, yang hal itu merupakan salah satu diantara dua kiasan yang paling dekat kepada zat-yang dinafikan, sehingga nikah tanpa wali menjadi tidak sah (batil).


Sementara madzhab Hanafiyah mengatakan bahw awanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih sendiri calon mempelai pria dan boleh melakuka akad dengan sendiri, ia mendasarkan pendapatnya pada firman Allah SWT:
£Ÿxsù £`èdqè=àÒ÷ès? br& z`ósÅ3Ztƒ £`ßgy_ºurør&
Artinya:
“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya….”
Menurut madzhab Hanafiyah maksud kata nikah disandarkan kepada mereka dalam kata "an yankihna", - adalah berarti sah pernikahan mereka tanpa wali.[6]
Dalam pandangan penulis, pendekatan yang dipakai oleh Hanafi yang berbeda ini dipengaruhi oleh letak geografis dan latar belakang budaya sosial yang berkembang di masyarakat pada waktu itu. Sehingga penafsirannya cenderung lebih elastis dan terbuka. Hanafi adalah seorang ulama yang tinggal di wilayah perkotaan metropolitan, dimana tingkat dan kapasitas keilmuan seseorang tidak membedakan jenis kelamin. Sehingga wanita pun memiliki hak otoritas untuk menentukan suatu hukum (dalam hal ini masalah nikah).
F.     Saksi  Nikah
a.   Pengertian dan Jumlah Saksi Nikah
 Saksi adalah orang yang hadir secara langsung menyaksikan pelaksanaan pernikahan (Ijab Qabul), agar pleksanaannya sesuai dangan syri’at agama.
            Saksi dalam pernikahan disyaratkan 2 orang sedangkan mengenai laki – laki atau perempuan yang menjadi saksi, para ulama memberikan 2 pendapat, sebagian berpendapat bahwa saksi harus laki – laki, sebagian yang lain berpendapat bahwa jika saksi perempuan tetap sah saja.
G.    Syarat-syarat Saksi Nikah
            Dalam masalah ini, saksi pada suatu pernikahan diharuskan memenuhi persyaratan berikut :
1. Beragama Islam
2. Baligh / dewasa
3. Adil
4. Mardeka
5. Mendengar dan memahami perkataan dua orang yang melakukan akad
6. Laki laki


H.    Kedudukan Saksi
                        Seperti halnya wali, pernikahan tidak akan sah apabila tidak dihadirkan 2 orang saksi sekalipun diumumkan dengan cara lain setelah ijab qabul. Hal ini ditegaskan kembali oleh Hadits Rasulullah saw:

لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل
Artinya:
 “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi”. (HR. Ibnu Hibban)

BAB III
KESIMPULAN

Kehadiran wali dan saksi pada saat akad nikah amat penting artinya, karena menyangkut kepentingan kerukunan berumah tangga, terutama menyangkut kepentingan istri dan anak, sehingga tidak ada kemungkinan suami mengingkari anaknya yang lahir dari istrinya itu.
Kehadiran wali dan  saksi dalam akad nikah, adalah sebagai penentu sah akad nikah itu seperti sabda Rasulullah “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi”.

DAFTAR PUSTAKA
Ø  Prof. Dr. HJ. Huzaenah tahido yanggo, MA, Fiqih Anak Metode Islam Dalam Mengasuh Dan Mendidik Anak Serta Hukum- Hukum Yang Berkaitan Dengan Aktifitas Anak, Jakarta Sel: PT Almawardi Prima, 2004.
Ø  Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lemtera Hati, cet IV,.2000.
Ø  http:// tafany. Wordpress.com/2007//12/17/r.
Ø  Drs. H Djumaan Nur, ibid.
Ø  H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Jakarta: IKAPI, cet.40, 2007.
Ø  Ibnu Hajar Atsqalani, terjemah hadits bulughul maram, dialih bahasakan oleh Prof. Drs. KH. Masdar Helmi, Bandung: CV. Gema Risalah Press.
Ø  http://kholid-kholidmakmun.blogspot.com/2011/05/kedudukan-wali-dan-saksi-dalam.html



[1] http:// tafany. Wordpress.com/2007//12/17/r.
[2] Tuhfatul Labiib, 2: 747
[3] Shahih Fiqh Sunnah, 3: 149
[4] Shahih Fiqh Sunnah, 3: 150
[5] At Tadzhib, 177
[6] Ibnu Hajar Atsqalani, terjemah hadits bulughul maram, dialih bahasakan oleh Prof. Drs. KH. Masdar Helmi, Bandung: CV. Gema Risalah Press. 1994, hal: 332.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar